Friday, November 2, 2012

MATARAM DINASTY SANJAYA

Kerajaan Mataram dibawah Pemerintahan Dinasti  Sanjaya dan Dinasti Isyana

Kerajaan Mataram Kuno adalah sebuah kerajaan yang terletak di daerah Jawa Tengah sekarang. Kemungkinan besar berpusat di daerah Jogjakarta atau Magelang sekarang dikarenakan banyaknya peninggalan-peninggalah megah yang ditemukan di kedua daerah ini seperti Candi Prambanan dan Candi Borobudur.

Adapun sumber sejarah yang mendukung eksistensi berdirinya kerajaan Mataram Kuno i ni adalaha berdasarkan Prasasti Canggal yang ditemukan di desa Canggal, sebelah timur Jogjakarta yang berangka tahun 732 M. Sumber lain seperti  Kitab atau Carita parahyangan juga menceritakan tentang  seorang raja yang bernama Sanna yang memerintah sebuah pulau yang kaya akan emas dan padi, yang tidak lain adalah Pulau Jawa sekarang. Diceritakan pula bahwa raja Sanna menurunkan Takhtanya kepada  Sanjaya, yang tidak lain adalah anak adik perempuannya yang bernama Sannaha untuk menggantikannya. Hal ini dikarenakan Raja Sanna tidak memiliki keturunan untuk diwarisi takhta kerajaannya.

Didalam Carita Parahyangan pula diceritakan tentang sejarah Tanah Pasundan serta kekalahan raja Sanna yang diserang oleh Purbasora dari Kerajaan Galuh ( daerah sekitar Cirebon sekarang ) dan memaksanya menyingkir ke daerah Gunung Merapi, Jawa Tengah. Namun pada masa pemerintahan Sanjaya, Kerajaan Galuh berhasil ditaklukan.

Sumber sejarah lainnya yang tidak kalah penting adalah prasasti yang dikeluarkan oleh Dyah Balitong (Rakai Watukura ) yang berisi tentang nama-nama raja dinasti Sanjaya yang pernah memerintah Mataram. Setidaknya ada 12 raja yang pernah memerintah Mataram, nama-nama tersebut antara lain :
1    
  1.       Rakai Sri Mataram sang Ratu Sanjaya
  2.             Sri Maharaja Rakai Panangkaran
  3.         Sri Maharaja Rakai Panunggalan
  4.             Sri Maharaja Rakai Warak
  5.             Sri Maharaja Rakai Garung
  6.       Sri Maharaja Rakai Pikatan
  7.       Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
  8.             Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
  9.       Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitong
  10.        Daksa
  11.             Tulodong
  12.             Wawa

Adapun dalam prasasti Mintyarsih atau lebih dikenal dengan prasati Kedu yang berangka tahun 829 Saka ( 907 Masehi ) yang berisi tentang penghadiahan kepada 5 orang patih oleh Dyah Balitong yang telah berjasa besar kepadanya. Disebutkan pula bahwa Rakai Panagkaran pengganti Sanjaya disebut sebagai Wamsatilak Syailendra atau “mustika dinasti Syailendra”.

Namun,sebenarnya dinasty Sanjaya tidak memerintah Mataram secara berurutan melainkan diselingi oleh kepemerintahan Dinasti Syailendra setelah masa Sanjaya, yakni pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Pada masa itu para Syailendra berhasil membujuk Rakai Panangkaran untuk membangun sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara. Bangunan ini tidak lain adalah Candi Kalasan yang berada di desa Klasan disebelah timur Jogjakarta. Setidaknya Dinasti Syailendra berkuasa selama  ± 1 abad lamanya yakni dari tahun 750 hingga 850.

Sebenarnya pada saat Dinasti Syailendra berkuasa, para keturunan Sanjaya tidaklah kehilangan kekuasaan sepenuhnya. Walaupun para Syailendra menguasai mayoritas daerah kerajaan Mataram,namun para keturunan Sanjaya masih memiliki kekuasaan atas sebagian kecil Jawa Tengah. Hingga pada akhirnya terjadi perkawinan antara Putri Mahkota Syailendra bernama Pramodhawardani yang menikah dengan seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan. Adapun Pramodhawardani adalah pewaris takhta Kerajaan ayahnya, Samaratungga. Sebenarnya Samaratungga memiliki seorang anak laki-laik bernama Balaputradewa yang merupakan adik dari Pramodhwardani, yang kelak akan menjadi Raja di Tanah Sumatera, Sriwijaya.

Dengan perkawinan Pramodhawardani dan Rakai Pikatan ini maka terjadilah percampuran darah antara Syailendra dan Sanjaya. Pada masa pemerintahan Pramodhwardani dan Rakai Pikatan ini banyak sekali dibangun bangunan-bangunan suci nan megah yang kita kenal sampai sekarang. Pramodhawardani banyak membangun bangunan-bangunan suci bercorak Budha seperti misalnya candi Kamulan (Borobudur). Sementara Rakai Pikatan juga membangun bangunan-bangunan suci bercorak Hindhu seperti Candi Prambanan.
Dinasti Sanjaya Berkuasa Lagi

Rakai Pikatan Turun takhta pada tahun 856 setelah berhasil menghapus kekuasaan Syailendra dan kemungkinan timbulnya kembali keluarga ini telah ia cegah dengan menggempur Balaputradewa (tahun 856 ) dan memaksanya bertahan di bukit Ratu Boko. Rakai Pikatan digantikan oleh Rakai Kayuwangi yang memrintah antara tahun 856 hingga tahun 886. Pada masa pemerintahannya, Rakyat Mataram mengalami kesulitan dikarenakan kekuasaan Syailendra di Jawa Tengah yang membangun dan menghasilkan bangunan-bangunan suci yang maha megah mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat dan penghasilan pertanian. Usaha dalam mengutamakan kebesaran raja kini terasa akibatnya yang menekan penghidupan rakyat. Selanjutnya Rakai Kayuwangi digantikan oleh Rakai Watuhumalang yang memerintah dari tahun 886 hingga 910. Kemudian menyusul Dyah Balitong (Rakai Watukura) yang memrintah mulai tahun 898 hingga 910. Pada masa pemerintahannya ia mengeluarkan sebuah prasasti yang memuat nama-nama raja dinasti Sanjaya mulai dari Sanjaya hingga dirinya. Prasasti ini kemudian dikenal dengan nama prasati Balitong. Adapun raja-raja yang memerintah Mataram setelah Dyah Balitong adalah Daksa (910 – 919), Tulodong (919 – 924) dan yang terakhir Wawa (924- 929). Setelah kepemimpinan Wawa, kekuasaan dinasti Sanjaya berakhir dan digantikan dengan dinasti Isyana dengan raja Pertamanya Mpu Sindok.
Dinasti Isyana Dibawah Mpu Sindok

Setelah Wawa turun takhta dan digantikan oleh Mpu Sindok yang  merupakan menantu dari Wawa karena pernikahannya dengan putri Wawa, Sri Prameswari. Kekuasaan Dinasti Isyana pun dimulai. Ada sebuah peristiwa penting pada masa pemerintahan Mpu Sindok, yakni pemindahan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Tidak jelas apa sebabnya kekuasaan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, namun muncul dua teori yakni : teori pertama, pada masa pemerintahan berpusat di Jawa Tengah, gunung Merapi Meletus dan akhirnya mengahncurkan daerah tersebut, sehingga memaksa pusat kekuasaan dipindahkan ke daerah Jawa Timur. Teori kedua, pusat kekuasaan dipindahkan ke Jawa Timur guna untuk menghindari kemungkinan serangan dari Sriwijaya pada masa itu.

Pada masa pemerintahan Sindok juga terhimpun sebuah kitab suci Agama budha yakni Sang Hyang Kamahayanikan yang berisikan soal-soal ajaran dan ibadah agama budha tantrayana. Namun agama Sindok sebenarnya adalah Hindu Mahayana. Mpu Sindok memerintah mulai dari tahun 929 sampai 947. Pengganti-penggantinya dapat kita ketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh raja Airlangga atau Prasasti Calcutta. Sehabis masa kepemimpinan Sindok digantikan oleh anaknya yang bernama Sri Isyanatunggadewi  dengan suaminya Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah raja yang akan menggantikannya yakni Makatuwangsawardana yang digambarkan sebagai “matahari keluarga isyana”. Nantinya juga Makutawangsawardana akan menurunkan seorang anak yakni, Mahendratta ( Gunapriyadharmapatni ) yang amat cantik yang bersuamikan raja Udayana (Dharmodayana Warmadewa) dari keluarga Warmadewa yang berkuasa di Bali.
Dharmawangsa dan Airlangga

Dharmawangsa naik menggantikan pendahulunya Makutawangsawardana. Dalam masa pemerintahannya , kitab Mahabhrata disadur dalam bahasa Jawa kuno. Dari 18 parwa yang ada yang kini sampai kepada kita hanyalah 9 parwa, diantaranya termasuk Adiparwa dan Wirataparwa yang memuat nama raja-raja dan angka tahun 996 serta Bhismaparwa. Juga disusun kitab hukum yang bernama ‘Siwasana” tahun 991. Darmawangsa menyerang Sriwijaya untuk merebut bagiaan selatan wilayah agar dapat menguasai selat sunda yang sangat penting bagi perdagangan India – Indonesia _ Tiongkok (992). Dharmawangsa juga berusaha keras untuk mengadakan hubungan politik dengan Tiongkok pada masa itu. Tercatat pada tahun 988 – 992 seorang Utusan Sriwijaya terpaksa bertahan di Kanton dikarenakan Sriwajaya sedang dalam keadaan perang ( diserang oleh kerajaan dari Jawa, diduga dibawah pimpinan Dhrmawangsa). Keadaan perang yang menutup pintu-pintu Sriwijaya itu dibenarkan oleh seorang Utusan dari Jawa yang singgah di Kanton pada tahun 922. Setelah Dharmawangsa berhasil menduduki Sriwijaya, maka naiklah Sri Sudamaniwarmadewa sebagai raja Sriwijaya yang diduga ada hubungan kekluargaan dengan keluarga Warmadewa di Bali.

Pada tahun 1016 kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Dharmawangsa mengalami bahaya besar atau pralaya  atau kehancuran akibat serbuan dari Sriwijaya yang sebelumnya telah berhasil meyakinkan seorang raja bawahan Dharmawangsa, Wurawari untuk memberontak dan menyerang Mataram. Dengan bantuan tentara dari Sriwijaya, pasukan pemberontak yang dipimpin Wurawari berhasil menghancurkan Dharmawangsa serta para pembesar istana. Dharmawangsa tewas dalam perang itu, begitupun para pembesar istana, hanya bebrapa orang saja yang berhasil meloloskan diri. Airlangga salah satunya, dengan dikawal oleh Narottama dan mengungsi ke daerah pegunungan Wanokwari. Airlangga merupakan putra sulung dari Udayana (raja Bali ) dan ibunya Mahendratta. Dalam hal ini Airlangga adala kemankan dari Dharmawangsa sebab dahulu Dharmawangsa menikah dengan cucu Sri Isyanatunggawijaya yang tidak lain adalah putri dari Mpu Sindok. Selama 3 tahun Airlangga berlindung di daerah itu, hingga pada tahun 1019 raja Colamandala dari India menyerbu Sriwijaya. Hal ini menyebabkan konsentrasi Tentara didaerah Jawa Timur yang menduduki Mataram ditarik kembali ke Sriwijaya. Melihat kondisi yang menguntungkan ini, Airlangga turun dari pngungsiannya dan kembali ke Ibukota. Ia dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta Budha, Siwa dan Brahmana menjadi raja. Namun pada tahun 1023 barulah Airlangga meluaskan daerah kekuasaannya setelah pada tahun yang sama setelah serangan kedua oleh raja Colamandala terhadap Sriwijaya menyebabkan Sriwijaya dalam keadaan yang selemah-lemahnya. Dalam usahanya untuk menutup kemungkinan Sriwijaya menyerang kembali, Airlangga terlebih dahulu mengadakan suatu “gentlemen aggreement”. Dalam perjanjian itu antara Sriwijaya dan Airlangga tidak lagi bermusuhan. Sriwjaya menguasai bagian Barat Indonesia ( diluar kekuasaan Mataram Airlangga ) sedangkan Airlangga berhak menguasai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sekitarnya.

Dalam pemerintahannya Airlangga dibantu oleh pengiku-pengikutnya yang setia, yaitu Narottama dan Niti yang masing masing bergelar rakryan Kanuruhan dan rakryan Kuningan. Ibu kota kerajaan juga sempat di dipindahkan dari daerah Wwatan Mas ke Kahuripan pada tahun 1031. Pelabuhan Hujung Galuh dimuara sungai Brantas diperbaiki, sedangkan Pelabuhan Kambang Putih (Tuban)  diberi hak-hak istimewa. Sungai Brantas yang selalu menimbulkan kerusakan akibat banjir diberi sebuah tanggul didaerah Waringin Sapta.

Semasa pemerintahan Airlangga, lahirlah sebuah kitab yang diberi nama “Arjunawiwaha” karya Mpu Kanwa dan disusun buku Undang undang Siwasana yang sampai sekarang masih digunakan di Bali. Airlangga adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia memiliki dua orang putra, Samarawijaya dan Mapanji Gerasakan serta seorang putri bernama Kili Suci yang memilih untuk pertapa dan menetap di Pucangan. Sementara itu, kedua putranya sama-sama ingin memperoleh warisan kerajaan. Akhirnya Airlangga meminta nasihat kepada Mpu Bharada , dan akhirnya Mpu Bharada menyatakan bahwa kerajaan Airlangga harus dibagi dua, dengan Gunung Kawi serta sungai Brantas sebagai batasnya.

Maka daerah kekuasaan Airlangga pun dibagilah menjadi dua kerajaan. Bagian barat menjadi kerajaan Panjalu ( Kediri ) dengan ibukotanya Daha, diberikan kepada putranya yang bernama Samarawijaya. Sedangkan kerajaan bagian Timur diberi nama dengan kerajaan Janggala dengan ibukotanya di Kahuripan, diberikan kepada putranya yang bernama Mapanji Gerasakan. Muncullah Panjalu dan Janggala yang dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas. Setelah membagi kerajaannya menjadi dua, akhirnya Airlangga memutuskan untuk menjadi pertapa sampai meninggal dan jasadnya dimakamkan di Candi Belahan dan sebagai perwujudannya dibuatkkan sebuah patung Airlangga sebagai Wisnu mengendarai Garuda ( Jatayu ).

1 comment: