Sejarah peradaban di ujung pulau Andalas dimulai sejak ditemukannya
prasasti Lobu Tua Barus (Tapanuli Tengah) yang berangka tahun 1088 M
yang menyebut adanya sekitar 1500 orang yang bermukim dikawasan tersebut
(Guillot, 2002). Pada umumnya, masyarakatnya adalah pedagang terutama
Kapur Barus dan Kemenyan yang banyak ditemukan di pulau Sumatra. Oleh
karenanya, dapat dinyatakan bahwa Barus menjadi Bandar perniagaan
mancanegara pertama di Sumatra Utara dengan komoditas niaga utamanya
yakni Kapur Barus (Champher) dan kemenyan. Diyakini bahwa situs ini
berdiri sejak abad ke-6 hingga 11 M dan pasca penetrasi saudagar islam
kemudian masyarakatnya terdesak kepedalaman dan membentuk komunitas
tersendiri dengan budaya tersendiri pula. Era dimana masuknya Islam di
Barus melalui jalur perdagangan ini sekaligus menandai masuk dan
berkembangnya agama Islam di ujung pulau Andalas ini.
Situs Lobu Tua Barus adalah situs sejarah tertua (oldest sites) yang
telah ditemukan di Sumatra Utara hingga saat ini, kemudian pada periode
berikutnya dikenal situs Portibi Padang Lawas Tapanuli Selatan pada abad
ke-11. Bukti nyata peninggalan situs Portibi adalah Candi Bahal yang
terpengaruh Hindu dan masih eksis hingga kini. Disamping itu, terdapat
tiga situs kuno (ancient sites) lainnya yang terletak dikawasan Timur
Sumatra Utara yakni Kota Cina (Abad ke 10-13), Kota Rentang (abad 13-14)
dan Deli Tua (abad 14-15). Satu situs yang disebut pertama plus Barus
dan Portibi telah dicatat oleh Eric M. Oey (1991) dalam bukunya
”Sumatra” dan disebut sebagai kerajaan kuna (ancient kingdom) di Sumatra
Utara. Kecuali Kota Cina, dua situs lainnya di kawasan Sumatra Timur
yakni Kota Rentang (telah diekskavasi) dan Deli Tua (belum diekskavasi)
belum banyak ditulis dan diteliti.
Kerajaan (H)Aru
Sumber-sumber klasik tentang Aru banyak didasarkan pada tulisan penguasa Portugis di Melaka yakni Mendez Pinto, pengembara China, kisah Pararaton maupun Sejarah Melayu. Sumber tersebut mengetengahkan bahwa di Sumatra Utara sekarang terdapat satu kerajaan yang besar yakni (H)Aru. Namun, hingga saat ini belum ada suatu kesimpulan utuh yang menyatakan asal muasal dan lokasi kerajaan Aru, dan lagi disertai adanya tarik menarik antara Karo, Melayu dan Aceh hingga Batak Timur.
Sumber-sumber klasik tentang Aru banyak didasarkan pada tulisan penguasa Portugis di Melaka yakni Mendez Pinto, pengembara China, kisah Pararaton maupun Sejarah Melayu. Sumber tersebut mengetengahkan bahwa di Sumatra Utara sekarang terdapat satu kerajaan yang besar yakni (H)Aru. Namun, hingga saat ini belum ada suatu kesimpulan utuh yang menyatakan asal muasal dan lokasi kerajaan Aru, dan lagi disertai adanya tarik menarik antara Karo, Melayu dan Aceh hingga Batak Timur.
Dalam banyak literatur, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan
ARU dan belum pernah diteliti. Namun, McKinnon menolak apabila kawasan
tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila
Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti
pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa
terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur
hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan.
Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju
pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya,
Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli,
Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai
diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke
Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli
(Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).
Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang
berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat
kerajaan Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan
oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro
(1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini
berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur),
Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur
Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga
telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan
Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1492-1537. Lebih lanjut
disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada
tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah
seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam
bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di
wilayah Batak Karo.
Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah
kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak
menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal
ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya
dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul
pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan
misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan.
Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang
kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam
penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah
Deli Tua dan telah menganut Islam.
Namun, seperti yang telah diingatkan oleh Prof. Wolters bahwa data-data
yang bersumber dari tulisan China dari abad ke 13-15 bukan nyata dari
penelitian namun sebatas pengamatan pintas. Oleh sebab itu, pembuktian
terhadap tulisan itu harus diarahkan kedalam tanah (ekskavasi) yakni
untuk merekontruksi jejak-jejak peradaban (H)ARU di lokasi dimaksud.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota
Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis banyak ditemukan batu
kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan
ornamentasi Jawi dan nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh.
Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak
diketemukan selain sebuah meriam buatan portugis bertuliskan aksara Arab
dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho
yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU
pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar
upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan
suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia
100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda pada tahun 1612 dan 1619.
Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh
Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah
Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.
Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga
dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari
sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton
(1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia
palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia
palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya
dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).
Demikian pula dalam hikayat ”Parpadanan Na Bolag” yang mengisahkan
kerajaan ”Nagur” yakni kerajaan Batak Timur Raya. Dalam catatan
pengembara asing, kerajaan ini sering disebut ”Nakur”, atau ”Nakureh”
maupun ”Jakur”. Kerajaan ini, menurut M.O. Parlindungan dalam bukunya
Tuanku Rao (1964) berdiri pada abad ke 6-12. Rajanya yang terkenal
adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga Ginting Pase
dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik. Nama Mara Silu
banyak disebut didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”, ”Sejarah Melayu”, dan
”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja Nagur dari Batak Timur
Raya. Menurut catatan MOP dalam bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh
terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar
Pase (Aceh) pada tahun 1285 dan masuk Islam serta berganti nama menjadi
Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu,
kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka
kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan
NAGUR pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota
Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti
arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama
dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan
earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak
ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan
bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar
Aceh.
Tentang hal ini, McKinnon (2008) menulis:”Aru was attacked by Aceh and
the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the
surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her
way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust
the Acehnese and regain her kingdom”. Pada akhirnya, sebagai dampak
serangan Aceh yang terus menerus ke Kota Rentang, maka ARU pindah ke
Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14, dan pada permulaan abad
ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar mulai berkuasa di Aceh.
McKinnon (2008) menulis “a sixteenth century account by the Portuguese
writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and
recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that
transpired thereafter”.
Kisah Putri Hijau
Diatas telah disebut bahwa pasca serangan Aceh ke ARU terdahulu, telah menyebabkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Diatas telah disebut bahwa pasca serangan Aceh ke ARU terdahulu, telah menyebabkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Temuan lainnya adalah mata uang Aceh yang terbuat dari emas, dimana
masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini
sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan
menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut
Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang
berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura.
Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya
percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar
ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya
mencari perlindungan dari serangan Aceh.
Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat
ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari
bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli
Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua
adalah Islam didasarkan pada sebuah meriam bertuliskan Arab dengan
bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de
Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di
tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada
dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam
inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan
secara terus menerus hingga terbagi dua.
Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus
adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh.
Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu
ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli
Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan
Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor
serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk
dinikahkan dengan Raja Aceh.
Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu,
sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali
serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan
Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada
pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh
menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan
untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan
Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua. Benteng dapat
direbut dan rajanya dapat ditewaskan.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng,
tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya
berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia
tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor,
Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikah dengan raja Johor
apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU
telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan.
Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan
sebagai wali negeri Aceh di ARU yakni kesultanan DELI.
Putri Hijau (Green Princess) adalah salah satu ’cerita’ kepahlawanan
(folk hero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada tiga
kelompok suku yakni Melayu, Karo dan Aceh. Sebagai cerita rakyat
(folktale) kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral)
milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local)
dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31). Kisah ini memiliki
sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik
penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan
apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan
Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud seperti: Syair
Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung
(Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Hans M. Nasution, 1984) dan Kisah
Puteri Hijau (Burhan AS, 1990).
Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan
yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan
tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni
menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti
yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan
cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau
adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980
dan Sinar, 1991). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan
nalar manusia-yang terdapat dapat kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan
secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.
Akan tetapi, penelitian dan ekskavasi arkeologi belum pernah dilakukan sehingga menyulitkan rekontruksi masa lalu ARU Deli Tua.
Kearah Penelitian Arkeologi
Penelitian dan ekskavasi arkeologis telah dilakukan di Kota Cina terutama oleh Edward McKinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Temuan-temuan spektakuler di situs seluas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming, archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu, ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.
Penelitian dan ekskavasi arkeologis telah dilakukan di Kota Cina terutama oleh Edward McKinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Temuan-temuan spektakuler di situs seluas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming, archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu, ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.
Situs Kota Rentang seluas 500-1000 Ha ini diteliti dan dilakukan
penggalian oleh McKinnon pada bulan Maret 2008. Temuan penting dan
berharga dari penelitian dan penggalian tersebut adalah ditemukannya
stonewares dan earthenwares terutama dari dinasti Yuan dan Ming, mata
uang maupun batu kubur (nisan) yang tersebar luas di situs sejarah
(historical sites) tersebut. Temuan berupa batu kubur yang percis sama
dengan di Aceh, sekaligus menguatkan dugaan bahwa kawasan ini pernah
dikuasai oleh Islam terutama yang datang dari Aceh. Namun demikian,
sebelum di kuasai oleh Aceh, kawasan ini lebih dahulu dipengaruhi oleh
Hindu maupun Budha karena adanya temuan batu dan kayu besar yang diduga
bekas bangunan candi.
Daerah ini dijelajahi oleh E. E. McKinnon, (Arkeolog Inggris) pada tahun
1972, sebelum memutuskan menggali di Kota Cina. Beliau menulis:
”beberapa nisan batu Aceh yang besar dan signifikan yang ada di Kota
Rentang pada tahun 1972 sekarang sudah menghilang, tetapi dari
jenis-jenisnya yang dilihat dahulu, maka mendukung anggapan lokasi di
Kota Rentang sebagai pemukiman orang-orang bangsawan. Sama juga dengan
mutu keramik dari awal abad ke-13 yang telah ditemui dilokasi-lokasi
yang sama, yaitu dari misi pelayaran Laksamana Cheng Ho (Zhenghe) dan
kunjungannya ke ARU pada tahun 1411-1431”.
Pendudukan Aceh di Kota Rentang, telah mengubah populasinya dengan warna
Islam. Batu nisan di impor dari Aceh dan menjadi pertanda bagi orang
meninggal dunia dan umumnya mereka itu adalah kaum bangsawan Kota
Rentang. Dan yang terpenting adalah dibentuk dan didirikannya sebuah
kerajaan dengan corak Islam yang dikemudian hari dikenal dengan ARU
(abad ke-13). Hal ini senada dengan bukti-bukti yang ada berupa tulisan
dan laporan yang menyebutkan bahwa nama kerajaan (H)Aru telah disebut
pada abad ke -13.
Situs Benteng Putri Hijau (Ijo) terdapat di Deli Tua-Namu Rambe dan
berdasarkan survei yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah
150 x 60 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid
area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan
penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang
terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Situs ini termasuk dalam
kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang
datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian
mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng
bentukan manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup
kuat untuk bisa sampai kepusat benteng. Menurut McKinnon, jenis benteng
seperti ini banyak terdapat di Scotlandia maupun Inggris sebelum abad
pertengahan.
Temuan lain adalah banyaknya keramik ataupun tembikar yang menunjuk
tarik yang hampir sama dengan temuan di Kota Rentang, juga temuan mata
uang (koin) Dirham, mata uang emas dari Aceh yang banyak ditemukan oleh
masyarakat sekaligus menjadi bukti sejarah bahwa pasukan Aceh pernah
menaklukkan kawasan ini dengan menembakkan meriam ber-peluru emas
sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat Putri Hijau (green princess).
Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah
Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1571, (bukan Iskandar Muda) pada tahun
1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua
ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis
dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga
sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana
peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619)
tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada
masa kepemimpinan Iskandar Muda ini, tidak terdapat suatu tulisan bahwa
Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan. Diyakini bahwa lokasi ini
merupakan pusat kerajaan Aru Deli Tua dimana kisah Puteri Hijau sangat
popular dan banyak diketahui oleh masyarakat.
Bandar Niaga
Kota Cina dan Kota Rentang dipercaya merupakan bandar internasional yang sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab. Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus dengan masyarakat setempat.
Kota Cina dan Kota Rentang dipercaya merupakan bandar internasional yang sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab. Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus dengan masyarakat setempat.
Jalur perdagangan sungai (riverine) merupakan entrance ke pusat
perdagangan seperti Kota Cina dan Kota Rentang melalui sungai Deli,
sungai Wampu dan sungai Sunggal yang bermuara ke Belawan (Belawan
ertuary). Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya
jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula,
temuan bongkahan perahu yang ditemukan di kedua lokasi (Kota Rentang dan
Kota Cina) menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar
niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang
berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan kedua daerah ini
seakan menjauh dari laut.
Situs yang telah ditemukan di pesisir pantai Timur Sumatra ini
menandakan bahwa wilayah ini pernah menjadi bandar niaga bertaraf
internasional sesuai zamanya, sekaligus menjadi centrum kerajaan Aru
yang besar dan penting dalam menjelaskan peradaban Sumatra Timur. Namun,
kekurang perhatian masyarakat dan instansi terkait terhadap situs-situs
sejarah menjadi faktor utama (main factor) penyebab kemusnahan situs
ini. Ironisnya, ketiga situs ini tak satupun yang terawat dan bahkan
semuanya hampir musnah. Kota Cina telah diserobot dan diduduki oleh
masyarakat dengan menjadikannya sebagai areal pemukiman dan pertanian,
sama halnya dengan Kota Rentang. Sedangkan Benteng Putri Hijau terancam
musnah sebagai dampak pembangunan perumahan yang percis menempel ke
badan Benteng. Bahkan, sebagian badan benteng telah dirusak untuk
memberi jalan ke perumahan yang tengah dibangun
saya juga masih mempelajari Kerajaan Aru di sumatra utara, gak ada gambar gambar penjelasannya ya Bro?
ReplyDeletesitus ini sangat menarik untuk dipelajari sebagai peninggalan budaya nenek moyang kiata yang sangat berharga